Rabu, 08 Juni 2011

Agama Sebagai Norma Sosial

Istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta "a-gamma" (a=tidak; gamma=kacau). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, terma agama ini diartikan: “Sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.”
 
Alferd Whitehead dalam bukunya Religion in the Making, menolak pandangan Durkheim bahwa agama adalah FAKTA SOSIAL (agama berkarakter komunitarian). Menurut Whitehead agama justru berkarakter individual, BUKAN sosial. Katanya, “Agama ialah apa yang dilakukan manusia dengan kesendiriannya (solitariness).” Agama pada hakikatnya adalah keheningan soliter, serunya. Latar belakang pemikiran Whitehead adalah sebagai berikut:

Menurut sejarah, agama itu tumbuh secara gradual karena adanya kebutuhan manusia. Masuknya “kebutuhan” itu bertahap mengikuti urutan: RITUAL, EMOTIONAL, BELIEF, RATIONALIZATION.
 1. Agama dalam tahap sebagai ritualisme
     > Tahap paling awal adalah ritual. Asal usul ritual dapat dilacak dari era prasejarah.
 2. Tahap menggugah emosi
     > Pada tahap ini agama sudah sampai pada tahap menggugah emosi. Untuk mempercepat proses ini, digunakanlah sistem tanda.
 3. Tahap keyakinan (kesaksian iman)
     > Tahap ketiga adalah kesaksian iman. Kesaksian iman merupakan petanda bahwa agama masih bersifat sosial. Agama menjadi agen formatif baru bagi kebangkitan manusia (the ascent of man).
 4. Tahap rasionalisasi.
     > Tahap yang ideal, menurut Whitehead, adalah tahap keempat, yakni rasionalisasi. Pada tahap inilah agama menjadi berdimensi individual.

Terkait tentang kecenderungan manusia beragama dewasa ini, Komaruddin Hidayat dan M. Wahyu Nafis (2003), menyebutkan ada empat kemungkinan.
     - Kecenderungan pertama disebut deism (faith without religion).
       Agama-agama yang terorganisasi (Yahudi, Nasrani, Islam, dst.) diramalkan tak memiliki masa depan; yang bertahan adalah pesan-pesan universalnya.
      - Kencenderungan kedua adalah munculnya gerakan falsafah kalam (theo-philosophical movement).
        Kecenderungan ini bertolak dari temuan-temuan ilmiah (khususnya ilmu eksakta). Agama merespons temuan-temuan ini dan menyesuaikan kajian-kajiannya dengan merangkul ilmu pengetahuan.
     - Kecenderungan ketiga adalah apa yang disebut dengan istilah skriptualis-ideologis. 
       Di sini agama dimaknai sebagai kembali kepada teks-teks kitab suci (atau disucikan). Kecenderungan ini kerap memposisikan diri sebagai pemurnian agama.
    - Kecenderungan keempat adalah kebangkitan etno-religius.
    Kecenderungan ini dipicu oleh perlawanan secara emosional atas hegemoni Barat, baik hegemoni politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Kecenderungan inipun bisa dipicu oleh keterkepungan secara geopolitik, seperti ekstremisme perjuangan rakyat Palestina dan gerakan zionisme Israel.

Di Perancis dikenal pilihan nomor tiga, yang lazim disebut sebagai konsep laïcité (baca: la-isi’te). Konsep ini dicantumkan dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis, yang menegaskan bahwa pada prinsipnya Perancis adalah republik yang sekuler dan Pemerintah tidak mencampuri urusan agama. Sejak abad ke-20, Pemerintah Perancis menerapkan perlakuan yang sama bagi semua agama (tak ada mayoritas-minoritas). Tahun 2004, melalui UU (Loi #2004-228), Perancis mempertegas prinsip laïcité ini dengan melarang penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah negeri (primary and secondary schools).

Di Amerika Serikat dikenal konsep berbeda, yang biasanya disebut civil religion. Konsep “American Civil Religion” kerap dikaitkan dengan sosiolog Robert Bellah (1967) dalam artikelnya Civil Religion in America. Amerika menganut “a common civil religion” dengan membolehkan kepercayaan, nilai-nilai, hari raya,dan  ritual tertentu, yang sejalan dengan kebebasan rakyatnya untuk memilih agama. Tidak ada agama yang dibiarkan menjadi agama negara. Diskursus dalam politik dan kenegaraan senantiasa dijauhkan dari terminologi agama. Namun, penelitian menunjukkan bahwa orientasi agama sering juga dipakai dalam rangka mendulang suara dalam pemilu.

Patut dicatat bahwa sebelum Bellah menyebut common civil religion, istilah serupa sebenarnya pernah disampaikan, seperti common faith (John Dewey), common religion (Robin Williams), religion in general (Martin Marty), religion of the Republic (Sidney Mead). 

Sumber : darta-sosiologihukum.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar