Rabu, 08 Juni 2011

Tipe Hukum Nonet & Selznick

Menurut Nonet & Selznick terdapat 2 tipe hukum, yaitu :

1. Hukum Refrensif
    Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah represif, bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan artinya bilamana ia cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represi sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan sendiri bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif, melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat. Mengenai perbedaan antara represi dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan adalah represif. Kedua, represi tidak perlu memaksa.
    Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat).
    Ciri-ciri umum dari hukum represif:
     - Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
     - Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
     - Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
     - Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
     - Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
     - Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

2. Hukum Otonom
    Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.
     Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
     - penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta
     - terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.

3. Hukum Responsif
    Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
     Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
      Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
     Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern.

Naming, Blaming, and Claming

Dalam rangka penyelesaian konflik, terdapat rangkaian langkah-langkah tertentu, yang sering dibicarakan dalam sosiologi hukum. Proses ini adalah naming, blaming, claming

A. Naming (Experience
    Pada tahap ini pihak-pihak yang bertikai atau mereka yang diserahi tugas menyelesaikan konflik akan menetapkan peta persoalan, khususnya memastikan bahwa telah terjadi kesalahan/kerugian. Dalam sosiologi, tahap naming ini bukannya tanpa referensi karena apa yang benar-salah atas perilaku itu didasarkan pada pengalaman (experience). Pengalamanlah yang mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai yang benar-salah, baik-buruk, dsb. Latar belakang pengalaman yang berbeda akan berbuah pada hasil naming yang berbeda. Di sini akan diperoleh data/informasi tentang duduk persoalan (posisi kasusnya), siapa-siapa saja yang terlibat sebagai pihak, dan apa deskripsi hak dan kewajiban masing-masing.

B. Blaming (Reaction) 
   Di sini pihak-pihak itu bereaksi menetapkan siapa yang biasanya (sesuai  pengalaman) seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan tadi. Pada tahap ini akan diperoleh data/informasi tentang siapa yang telah melanggar kewajibannya, dan siapa yang dirugikan atas pelanggaran itu, termasuk apa kontribusi masing-masing atas kesalahan dan kerugian tadi.

 C. Claming (Understanding and Responsibility) 
     Tahap ini adalah tahap untuk menentukan cara dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta. Dalam praktik, cara meminta pertanggungjawaban dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta tidaklah tunggal. Pihak-pihak selalu mencari cara dan bentuk yang paling menguntungkan dirinya masing-masing. Pilihan hukum dan pilihan forum dilakukan dengan cara seperti orang berbelanja, sehingga disebut juga dengan istilah forum shopping. Dalam sosiologi hukum dapat ditunjukkan betapa masyarakat memiliki forum-forum sendiri untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Pengadilan jelas bukan satu-satunya pilihan itu.

sumber : darta-sosiologihukum.blogspot.com

Agama Sebagai Norma Sosial

Istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta "a-gamma" (a=tidak; gamma=kacau). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, terma agama ini diartikan: “Sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.”
 
Alferd Whitehead dalam bukunya Religion in the Making, menolak pandangan Durkheim bahwa agama adalah FAKTA SOSIAL (agama berkarakter komunitarian). Menurut Whitehead agama justru berkarakter individual, BUKAN sosial. Katanya, “Agama ialah apa yang dilakukan manusia dengan kesendiriannya (solitariness).” Agama pada hakikatnya adalah keheningan soliter, serunya. Latar belakang pemikiran Whitehead adalah sebagai berikut:

Menurut sejarah, agama itu tumbuh secara gradual karena adanya kebutuhan manusia. Masuknya “kebutuhan” itu bertahap mengikuti urutan: RITUAL, EMOTIONAL, BELIEF, RATIONALIZATION.
 1. Agama dalam tahap sebagai ritualisme
     > Tahap paling awal adalah ritual. Asal usul ritual dapat dilacak dari era prasejarah.
 2. Tahap menggugah emosi
     > Pada tahap ini agama sudah sampai pada tahap menggugah emosi. Untuk mempercepat proses ini, digunakanlah sistem tanda.
 3. Tahap keyakinan (kesaksian iman)
     > Tahap ketiga adalah kesaksian iman. Kesaksian iman merupakan petanda bahwa agama masih bersifat sosial. Agama menjadi agen formatif baru bagi kebangkitan manusia (the ascent of man).
 4. Tahap rasionalisasi.
     > Tahap yang ideal, menurut Whitehead, adalah tahap keempat, yakni rasionalisasi. Pada tahap inilah agama menjadi berdimensi individual.

Terkait tentang kecenderungan manusia beragama dewasa ini, Komaruddin Hidayat dan M. Wahyu Nafis (2003), menyebutkan ada empat kemungkinan.
     - Kecenderungan pertama disebut deism (faith without religion).
       Agama-agama yang terorganisasi (Yahudi, Nasrani, Islam, dst.) diramalkan tak memiliki masa depan; yang bertahan adalah pesan-pesan universalnya.
      - Kencenderungan kedua adalah munculnya gerakan falsafah kalam (theo-philosophical movement).
        Kecenderungan ini bertolak dari temuan-temuan ilmiah (khususnya ilmu eksakta). Agama merespons temuan-temuan ini dan menyesuaikan kajian-kajiannya dengan merangkul ilmu pengetahuan.
     - Kecenderungan ketiga adalah apa yang disebut dengan istilah skriptualis-ideologis. 
       Di sini agama dimaknai sebagai kembali kepada teks-teks kitab suci (atau disucikan). Kecenderungan ini kerap memposisikan diri sebagai pemurnian agama.
    - Kecenderungan keempat adalah kebangkitan etno-religius.
    Kecenderungan ini dipicu oleh perlawanan secara emosional atas hegemoni Barat, baik hegemoni politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Kecenderungan inipun bisa dipicu oleh keterkepungan secara geopolitik, seperti ekstremisme perjuangan rakyat Palestina dan gerakan zionisme Israel.

Di Perancis dikenal pilihan nomor tiga, yang lazim disebut sebagai konsep laïcité (baca: la-isi’te). Konsep ini dicantumkan dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis, yang menegaskan bahwa pada prinsipnya Perancis adalah republik yang sekuler dan Pemerintah tidak mencampuri urusan agama. Sejak abad ke-20, Pemerintah Perancis menerapkan perlakuan yang sama bagi semua agama (tak ada mayoritas-minoritas). Tahun 2004, melalui UU (Loi #2004-228), Perancis mempertegas prinsip laïcité ini dengan melarang penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah negeri (primary and secondary schools).

Di Amerika Serikat dikenal konsep berbeda, yang biasanya disebut civil religion. Konsep “American Civil Religion” kerap dikaitkan dengan sosiolog Robert Bellah (1967) dalam artikelnya Civil Religion in America. Amerika menganut “a common civil religion” dengan membolehkan kepercayaan, nilai-nilai, hari raya,dan  ritual tertentu, yang sejalan dengan kebebasan rakyatnya untuk memilih agama. Tidak ada agama yang dibiarkan menjadi agama negara. Diskursus dalam politik dan kenegaraan senantiasa dijauhkan dari terminologi agama. Namun, penelitian menunjukkan bahwa orientasi agama sering juga dipakai dalam rangka mendulang suara dalam pemilu.

Patut dicatat bahwa sebelum Bellah menyebut common civil religion, istilah serupa sebenarnya pernah disampaikan, seperti common faith (John Dewey), common religion (Robin Williams), religion in general (Martin Marty), religion of the Republic (Sidney Mead). 

Sumber : darta-sosiologihukum.blogspot.com

Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial

Perbedaan sosiologi makro dan mikro :
  - Sosiologi mikro mempelajari situasi
  - Sosiologi makro mempelajari struktur

Menurut Ralph Linton, struktur sosial memiliki 2 konsep penting :
  - status (a collection of rights and duties)
    contoh : hak dan kewajiban dosen adalah….
  - peranan (the dynamic aspect of status)
    contoh : untuk melaksanakan hak dan kewajiban itu, dosen mengajar dengan cara…

Menurut Linton, status sosial dapat dibedakan menjadi :
  - status yang diperoleh (ascribed status) : tertutup
  - status yang diraih 9achieved status) : terbuka
 
Menurut Robert K. Merton, seseorang tidak hanya memiliki 1 status saja, sehingga berakibat ada banyak peranan pula.

A. Pranata sosial (institusi sosial)
     Sekumpulan status dan peranan yang berjalan stabil dan karenan mampu memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya disebut pranata sosial. Jadi pranata terdiri dari seperangkat aturan yang terlembagakan (institutionalized), dengan cirri-ciri :
   - diterima oleh sejumlah besar anggota system sosial itu
   - diinternalisasikan (internalized)
   - diwajibkam (dengan sanksi atas pelanggarannya)
catatan:     Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan yang mengatur perilaku dan hubungan antara anggota masyarakat agar hidup aman, tenteram dan harmonis. Dengan bahasa sehari-hari kita sebut “aturan main/cara main”. Jadi peranan pranata sosial sebagai pedoman kita berperilaku supaya terjadi keseimbangan sosial

B. Pengertian masyarakat
Menurut Marion Levy (1965) :
 - masyarakat harus mampu bertahan melebihi masa hidup seorang individu
 - rekrutmen seluruh/sebagian anggotanya melalui reproduksi
 - kesetiaan pada suatu “system tindakan utama bersama”
 - adanya system tindakan utama yang bersifat swasembada
 
Menurut Talcott Parsons (1968) :
 - bersifat swasembada
 - melebihi masa hidup individu normal
 - merekrut anggota secara reproduksi biologis
 - melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya
 
Menurut Edwars Snils :
 - self-sufficiency
 - self-regulation
 - self-generation
 
C. Pengendalian Sosial
     Emile Durkheim pernah menyebut tentang fakta sosial, yaitu kekuatan paksaan dari luar individu. Fakta sosial ini mengendalikan perilaku individu-individu. Fakta sosial yang paling kuat daya paksanya adalah hukum. Peter L. Berger & Brigitte Berger (1981) mengartikan pengendalian sosial sebagai “various means used by a society to bring recalcitrant members back into line”, yaitu aneka cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang.
     Joseph S.Roucek (1965) menyatakan pengendalian sosial sebagai “a collective term for those processes, planned or unplanned, by which individuals are taught, persuaded, or complied to conform to the usages and life-values of groups”, yaitu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak terencana tatkala individu diajarkan, dibujuk, atau dipaksa menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok.
     Jika Berger mendefinisikan pengendalian sosial terbatas pada mereka yang membangkang, maka Roucek mendefinisikan pengendalian sosial ditujukan pada semua proses sosialisasi.
     Hukum dapat dipakai untuk sarana pengendalian sosial ditandai dengan pemberian kewenangan bagi Negara untuk melakukan paksaan fisik. Mekanisme pengendalian sosial lainnya :
 - membayar ganti rugi/denda
 - mencopot dari jabatan
 - mengucilkan dari pergaulan
 - mempermalukan di depan umum, dll.

4 Teori dalam Sosiologi Hukum

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadang kala fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah sosial dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.

A. Teori Fungsional Struktural / Structural Function Theory
Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata sosial. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.
Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.


B. Teori Konflik / Conflict Theory
Teori Konflik yang digagas oleh Marx didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh. Bagi Marx, dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yakni kaum borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Antara kedua kelompok ini selalu terjadi konflik. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik.

C. Teori Interaksi Simbolik / Simbolic Interaction Theory
Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920).
Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan.

Di bawah ini dapat dilihat  gambar mengenai  Kontrak Sosial berdasarkan Interaksionisme Simbolik















D. Teori Pertukaran Sosial / Social Exchange Theory
Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisanya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.

Hubungan Sosial

Terdapat 2 hubungan sosial yaitu Hubungan Sosial Asosiatif dan Hubungan Sosial Disosiatif

Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial Asosiatif
Hubungan sosial asosiatif adalah proses interaksi yang cenderung menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok. Hubungan sosial asosiatif memiliki bentuk-bentuk berikut ini.

a. Kerja sama
Kerja sama dapat dilakukan paling sedikit oleh dua individu untuk mencapai suatu tujuan bersama. Di dalam mencapai tujuan bersama tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama saling memahami kemampuan masingmasing dan saling membantu sehingga terjalin sinergi. Kerja sama dapat terjalin semakin kuat jika dalam melakukan kerja sama tersebut terdapat kekuatan dari luar yang mengancam. Ancaman dari pihak luar ini akan menumbuhkan semangat yang lebih besar karena selain para pelaku kerja sama akan berusaha mempertahankan eksistensinya, mereka juga sekaligus berupaya mencapai tujuan bersama.

Kerja sama dapat dibedakan atas beberapa bentuk, berikut ini :

1) Kerukunan: merupakan bentuk kerja sama yang paling sederhana dan mudah diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat.

2) Bargaining: merupakan bentuk kerja sama yang dihasilkan melalui proses tawar menawar atau kompromi antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan.

3) Kooptasi (cooptation): proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik suatu organisasi agar tidak terjadi keguncangan atau perpecahan di tubuh organisasi tersebut.

4) Koalisi (coalition) yaitu kombinasi antara dua pihak atau lebih yang bertujuan sama.

5) Joint venture yaitu kerja sama antara pihak asing dengan pihak setempat dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.

b.Akomodasi
Dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau sebagai suatu proses. Sebagai keadaan, akomodasi adalah suatu bentuk keseimbangan dalam interaksi antarindividu atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial dan nilai sosial yang berlaku. Sebagai proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.

Sebagai suatu proses, akomodasi mempunyai beberapa bentuk. Berikut ini bentuk-bentuk akomodasi.

1) Koersi (coercion) suatu bentuk akomodasi yang dilaksanakan karena adanya paksaan, baik secara fisik (langsung) ataupun secara psikologis (tidak langsung).

2) Kompromi (compromize) suatu bentuk akomodasi di antara pihak-pihak yang terlibat untuk dapat saling mengurangi tuntutannya agar penyelesaian masalah yang terjadi dapat dilakukan.

3) Arbitrasi (arbitration) suatu cara mencapai kesepakatan yang dilakukan antara dua pihak yang bertikai dengan bantuan pihak ketiga.

4) Mediasi (mediation) mediasi hampir sama dengan arbitrasi. Akan tetapi, dalam hal ini fungsi pihak ketiga hanya sebagai penengah dan tidak memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa.

5) Konsiliasi (conciliation) yaitu usaha mempertemukan keinginan dari beberapa pihak yang sedang berselisih demi tercapainya tujuan bersama.

6) Toleransi (tolerance) suatu bentuk akomodasi yang dilandasi sikap saling menghormati kepentingan sesama sehingga perselisihan dapat dicegah atau tidak terjadi.

7) Stalemate suatu keadaan perselisihan yang berhenti pada tingkatan tertentu. Keadaan ini terjadi karena masing-masing pihak tidak dapat lagi maju ataupun mundur (seimbang).

8) Pengadilan (adjudication) merupakan bentuk penyelesaian perkara atau perselisihan di pengadilan oleh lembaga negara melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Asimilasi
Adalah proses sosial yang timbul apabila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara interaktif dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, lambat laun kebudayaan asli akan berubah sifat dan wujudnya menjadi kebudayaan baru yang merupakan perpaduan kebudayaan dan masyarakat dengan tidak lagi membeda-bedakan antara unsur budaya lama dengan kebudayaan baru. Proses ini ditandai dengan adanya usaha mengurangi perbedaan yang ada.

Proses asimilasi bisa timbul jika ada:

1) kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya
2) orang perorangan sebagai anggota kelompok saling bergaul secara intensif, langsung, dan dalam jangka waktu yang lama
3) kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan.

d. Akulturasi
Adalah suatu keadaan diterimanya unsur-unsur budaya asing ke dalam kebudayaan sendiri. Diterimanya unsur-unsur budaya asing tersebut berjalan secara lambat dan disesuaikan dengan kebudayaan sendiri, sehingga kepribadian budaya sendiri tidak hilang.


2. Bentuk-Bentuk Hubungan Disosiatif

a. Persaingan
Adalah suatu proses sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam usahanya mencapai keuntungan tertentu tanpa adanya ancaman atau kekerasan dari para pelaku.

b. Kontravensi
Merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada di antara persaingan dengan pertentangan atau pertikaian.

c.Pertentangan/Perselisihan
Adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok menantang pihak lawan dengan ancaman dan atau kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.

> Menurut C.J.M. Schuyt (1981) ada enam cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik:
   (1) Pihak yang satu menundukkan diri pada pihak lain
   (2) Para pihak melakukan musyawarah
   (3) Para pihak minta pihak ketiga menjadi perantara
   (4) Diselesaikan melalui mekanisme pengadilan (hakim)
   (5) Diselesaikan melalui solusi politik administrasi pemerintah
   (6) Diselesaikan melalui tindak kekerasan.
Schuyt lalu mengembangkan hoefijzer model (model tapal kuda) yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Proses Sosial

Di lihat dari sudut pandangnya, interaksi sosial dapat di bagi menjadi 2 yaitu :

1. Berbuat karena dipengaruhi (Fakta Sosial)
• Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari FAKTA SOSIAL (cara bertindak, berfikir,dan
perasaan yang semuanya dikendalikan dan dipaksakan oleh kekuatan memaksa eksternal
diri individu).
• Fakta Sosial menurut Emile Durkheim
» The Division of Labor in Society (1965)
- Pembagian jenis-jenis pekerjaan (spesialisasi)
- Manusia individual tinggal mengikutinya sebagai fakta social
» Suicide (1968)
- Jenis “altruistic suicide” terjadi pada anggota kelompok masyarakat yang integrative (merasa pahlawan)
- Jenis “egoistic suicide” terjadi pada anggota kelompok masyarakat yang disintegrative (masa krisis)
- Jenis “anomic suicide” terjadi pada individu yang anggota kelompok masyarakat yang kehilangan perhatian kelompoknya.
• Solidaritas Nasional adalah Kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial
dalam masyarakat. Ada 2 jenis solidaritas sosial, yaitu :

Mekanis :
- pembagian kerja rendah (ketergantungan antarprofesi rendah)
- kesadaran kolektif kuat (tradisi)
- didominasi hukum represif
- individualitas rendah
- konsensus terhadap pola normatif
- keterlibatan massa dalam penghukuman
- primitif pedesaan
- perilaku bunuh diri; altruistis

Organis :  
   - pembagian kerja tinggi (ketergantungan antar profesi tinggi)
- kesadaran kolektif rendah (spesialisasi)
- dominasi hokum restitutif
- individualitas tinggi
- konsensus pada nilai abstrak
- penghukuman hanya oleh badan formil
- industri perkotaan
- perilaku bunuh diri; egois & anomis
2. Berbuat untuk mempengaruhi (Tindakan Sosial)
• Tindakan sosial adalah Perilaku manusia yang dijalankan karena tekait dengan orang lain. Contoh :
- Bunuh diri karena putus asa akibat penyakit tak kunjung sembuh BUKAN tindakan sosial.

• Tindakan Sosial menurut Max Weber
» Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari TINDAKAN SOSIAL:

- Setiap tindakan sosial memliki makna subjektif bagi pelakunya (sehingga sangat mungkin berbeda antara satu dengan lainnya);
- Kita memutuskan apa yang kita lakukan bergantung INTERPRETASI kita terhadap dunia sekililing kita;
- Sosiologi akan dapat memahami (Verstehen) makna ini jika tindakan sosial itu dilihat dari perspektif pelakunya → penelitian kualitatif;
- Jadi, sosiologi berguna memahami mengapa warga masyarakat cenderung berpola tindak tertentu, dst.

• Ada 4 tipe tindakan sosial :
- TRADISIONAL
→ saya melakukan ini karena saya selalu melakukannya
- AFEKTIF
→ … karena apa boleh buat, harus saya lakukan!
- RASIONALITAS NILAI
→ … karena setahu saya, paling baik adalah melakukan ini (berorientasi
nilai).
- RASIONALITAS INSTRUMENTAL
→ … karena yang paling efisien untuk mencapai tujuan adalah dengan
cara ini (berorientasi tujuan).
• Ada 3 tipe otoritas (authority)
- TRADISIONAL
Contoh : otoritas pendeta, kepala suku. Dipatuhi karena mengikuti tradisi
- KHARISMATIS
Contoh : pahlawan kemerdekaan (Soekarno). Dipatuhi karena dipercaya sebagai “ratu adil”
- LEGAL atau RASIONAL
Contoh : atasan yang diangkat. Dipatuhi karena secara hukum ia pejabat resmi